10/20/2008

LOMBA LUKIS ANAK,AJANG BERKREASI ATAU EKSPLORASI ANAK



Dunia anak adalah dunia yang sangat menyenangkan,dunia yang penuh dengan bermain dan bermain.salah satu dari kegemaran anak adalah menggambar.Menggambar atau melukis bagi seorang anak adalah medium komunikasi untuk menarasikan kehendak visual pribadi terhadap apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya. Menggambar bagi seorang anak manusia adalah medium angan-angan yang digelar bersama imajinasinya untuk berkomunikasi kepada siapa pun. Baik kepada ayah, ibu, kakak, adik, saudara, kakek, nenek, ataupun kepada guru dan teman-temannya.Menggambar atau melukis merupakan aktivitas yang menyenangkan di antara bentuk-bentuk permainan anak-anak yang lain.hal itu agaknya dapat menjadi sebuah kenangan apabila aktifitas menggambar dijadikan sebuah ajang gengsi manakala didepan kata menggambar ditambah imbuhan ‘lomba’ maka jadilah kegiatan lomba menggambar sebagai ajang yang prestisius untuk memuaskan gengsi orang tua yang menginginkan anaknya untuk dapat menjadi seorang jawara dari setiap lomba menggambar yang diikutinya. problem mendasar dari rusaknya lomba lukis anak adalah karena peran orang tua yang telah bergeser perspektif pandangnya terhadap lomba ini. Lomba lukis seperti menjadi ajang pembuktian bagi keberhasilan orang tua dalam memasukan anak-anaknya ke sanggar. Kalau kalah, apa gunanya masuk sanggar. Gagal dong, begitu kira-kira. Dan tentu saja sikap orang tua yang mulai mananamkan mental menang saja, bukan mental siap kalah pada anak-anaknya sehingga ketika mereka gagal menang, jurilah yang menjadi sasarannya. Bagi sebagian mereka pun, anak telah menjadi kuda pacu untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah lewat (menjuarai) lomba lukis. . . Secara umum, peserta lomba yang terjebak dalam industri lomba lukis, hasil akhir karyanya terlihat menggunakan metodologi visual kreatif yang sama. Misalnya, setiap kali menggambar harus dimulai dengan sketsa pensil pada obyek yang akan digambar. Tahap berikutnya, sketsa pensil yang membentuk beragam obyek tersebut dipertegas dengan spidol hitam (biasanya spidol white board dengan beragam merek). Tetapi ada pula yang menggunakan metode jalan pintas. Tentu alasannya untuk menyingkat waktu dan cepat selesai.Membuat sketsa obyek langsung menggunakan spidol warna hitam. Obyek yang sudah diberi outline dengan spidol selanjutnya diisi dengan warna-warna cerah dari pastel oil yang disusun dengan pendekatan gradasi dari gelap ke warna terang atau sebaliknya. Setelah semua bidang gambar penuh dengan obyek manusia, tumbuhan, binatang dan ikon alam benda lainnya, karya tersebut disapu dengan tinta cina sebagai warna pengunci.Tahap akhir, karya lukis tersebut disemprot dengan cairan bening ( pilox clear) agar tampak mengkilat atau glossy. Ujung-ujungnya, karya tersebut secara visual berbentuk ilustrasi atau desain dekoratif, bukan sebuah gambar yang dikerjakan oleh seorang anak peserta lomba lukis.Di balik niat luhur lomba menggambar atau melukis sebagai alat picu pencari bibit unggul pelukis cilik, atau mendorong apresiasi seni anak melalui lukisan, tetapi apabila diikuti dengan iming-iming hadiah yang cukup menggiurkan, maka aktivitas tersebut cenderung memaksa ekspresi dan suatu sikap yang tidak menghargai sebuah ekspresi seni. Dalam aktivitas seperti itu, pemenangnya lebih bersifat pilihan sesuai selera juri.Kenyataannya sekarang, di mana ada lomba, di situ muncul juara satu, dua, tiga dan beberapa pemenang harapan. Penobatan jawara seperti itu, sangat relatif obyektivitasnya. Mereka yang menjadi pemenang, barangkali hanya prototype juri. Lebih memalukan lagi jika juri yang dipilih bersifat tetap dalam setiap event yang diselenggarakan. Dampaknya, sang pemenang hanya didominasi oleh nama-nama atau anggota sanggar tertentu saja.Berdasarkan itulah, maka tidak selayaknya seseorang menghakimi karya seni dengan predikat baik buruk. Karena karya seni adalah ekspresi berdasarkan perasaan dan pengalaman lahir batin individu kreatornya. Selain itu tingkat relativitasnya sangat tinggi. Artinya, yang baik bagi seseorang belum tentu sempurna bagi orang lain. Maka sesuatu yang disebut-sebut nomor satu oleh tim juri, bila dewan juri itu diganti, siapa yang mampu menjamin bahwa yang nomor satu tadi tetap akan nomor wahid.Komposisi tim juri sangat mempengaruhi. Faktor lain yang cukup signifikan adalah masalah situasi, waktu atau zaman. Contohnya, ketepatan gambar sesuai dengan cerapan mata pada suatu ketika dihargai. Tetapi setelah Sigmund Freud menyatakan bahwa ekspresi itu penting, maka lukisan-lukisan fotografis mulai kehilangan massa pendukungnya.Ada lagi unsur lain, tim juri diduga kurang menyesuaikan diri terhadap perkembangan berbagai macam wacana seni rupa. Jika yang dinilai itu karya seni anak-anak, mana yang lebih diutamakan. Keberaniannya, ekspresinya, kreativitasnya, kemiripannya, komposisi warnanya, ataukah yang lain?Yang sering terjadi, setelah karya nomor satu, dua, tiga, dan harapan, diumumkan. Jejak gambar hasil karya pemenang ditunjukkan, lalu opini masyarakat pun terbentuk terkait dengan karya pemenang.Terhadap hal semacam itu, biasanya masyarakat sangat toleran terhadap rekomendasi para pakar. Maka khalayak pun percaya dengan sepenuh hati bahwa pendapat pakar dan intelektual seni itu adalah benar-benar baik. Dengan begitu, apresian telah kehilangan kemampuan untuk berpendapat. Fenomena seperti itulah yang akhir-akhir ini menggejala di dalam lingkup penyelenggaraan lomba dan penjurian lomba menggambar atau melukis.(dikutip dari beberapa sumber)

Tidak ada komentar: